Bagian Ketiga
“Suatu hal
lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal
Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya
berada dalam kondisi „tak mau‟ dan „tak bisa‟ diklarifikasi, adalah apakah
peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu adalah by accident terjadi
karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada semacam setting
sebelumnya?”. “Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs Achadi, mantan
menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan persoalan lebih penting adalah
bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah
11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya sebagaimana yang banyak
menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir”.
Istana
Bogor, 11 Maret 1966, pukul 13.00. Tiga jenderal AD tiba di sana dengan
berkendaraan sebuah jeep yang dikemudikan sendiri oleh Brigadir Jenderal
Muhammad Jusuf, Menteri Perindustrian Ringan. Dua lainnya adalah Mayor Jenderal
Basuki Rachmat, Menteri Veteran dan Demobilisasi, serta Brigadir Jenderal
Amirmahmud, Panglima Kodam Jaya. Keputusan berangkat ke Bogor menemui Soekarno
diambil setelah Basuki Rachmat dan Jusuf mendengar detail persoalan tentang
kenapa Soekarno tergesa-gesa berangkat ke Bogor dengan helikopter. Meskipun
hadir dalam rapat kabinet, kedua menteri itu tak tahu persis mengenai adanya
pasukan tak kenal mendekati istana dan tak terlalu mengetahui ketegangan yang
tercipta oleh Brigjen Saboer dan Brigjen Amirmahmud.
Sebelum
berangkat ke Bogor, tiga jenderal ini menemui Jenderal Soeharto di kediaman
Jalan Haji Agus Salim dan diterima di kamar tidur Soeharto yang waktu itu
digambarkan sedang demam. Soeharto menyetujui keberangkatan mereka bertiga ke
Bogor, dan menurut Jusuf, Soeharto menitipkan satu pesan yang jelas dan tegas berbeda
dengan beberapa versi lain yang diperhalus yaitu bahwa Soeharto bersedia
memikul tanggungjawab apabila kewenangan untuk itu diberikan kepadanya untuk
melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura.
Soekarno
yang pada pagi harinya sempat panik di Jakarta dan tergesa-gesa berangkat ke
Bogor, sempat meneruskan istirahat siangnya dan membiarkan tiga jenderal itu
menunggu sampai pukul 14.30 sebelum menerima mereka. Soekarno bisa tampil cukup
‗tenang‘ tatkala pesan Jenderal Soeharto disampaikan padanya, namun menurut
gambaran Muhammad Jusuf terjadi dialog yang begitu berat dan kadang-kadang
tegang. Tidak seperti pada masa-masa sebelumnya, dimana dalam setiap
pembicaraan Soekarno selalu dituruti, kali ini para jenderal itu lebih berani
berargumentasi. Ini ada dampaknya terhadap Soekarno yang terbiasa diiyakan,
yakni Soekarno merasa sedikit tertekan oleh para jenderal itu. Soekarno
akhirnya menyetujui suatu pemberian kewenangan kepada Soeharto. Penyusunan
konsepnya memakan waktu cukup lama dan berkali-kali mengalami perubahan.
Menurut para jenderal itu kemudian, perubahan atas konsep juga termasuk oleh
tiga Waperdam yang datang kemudian, lalu mendampingi Soekarno dalam
pembicaraan.
Dalam
ingatan Jusuf, coretan-coretan perubahan dari Soebandrio dan Chairul Saleh,
mengecilkan kewenangan yang akan diberikan kepada Soeharto. Dalam catatan
Jenderal Nasution, butir yang berasal dari Soebandrio adalah tentang keharusan
Menteri Panglima AD untuk berkoordinasi dengan para panglima angkatan lainnya
dalam pelaksanaan perintah. Sementara itu, menurut Soebandrio sendiri, sewaktu
dirinya bersama dua waperdam lainnya bergabung, pertemuan sudah menghasilkan
suatu konsep. Soebandrio menuturkan, Saya masuk ruang pertemuan, Bung Karno
sedang membaca surat.
Basuki
Rachmat, Amirmahmud dan Muhammad Jusuf duduk di depan Soekarno. Lantas saya
disodori surat yang dibaca Bung Karno, sedangkan Chairul Saleh duduk di samping
saya. Isi persisnya saya sudah lupa. Tetapi intinya ada empat hal. Presiden
Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan wilayah
Jakarta dan sekitarnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan kepada presiden
atas semua tindakan yang dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib
mengamankan presiden serta seluruh keluarganya. Keempat, penerima mandat wajib
melestarikan ajaran Bung Karno. Soal urutannya, mungkin terbalik-balik, namun
intinya berisi seperti itu.
Lebih jauh,
Soebandrio menuturkan dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S bahwa
Soekarno bertanya kepadanya, Bagaimana, Ban? Kau setuju?. Beberapa saat
Soebandrio diam. Saya pikir, Bung Karno hanya mengharapkan saya menyatakan
setuju. Padahal, dalam hati saya tidak setuju. Soebandrio yang agaknya terkejut
oleh peristiwa di Jakarta pagi dan siangnya, masih belum pulih semangatnya,
meskipun ia tak mengakui dirinya takut, termasuk ketika ia berkali-kali merasa
dipelototi oleh para jenderal itu. Saya merasa Bung Karno sudah ditekan.
Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi presiden dan keluarganya.
Artinya
keselamatan presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut
dikeluarkan. Lama terdiam, akhirnya Soebandrio ditanyai lagi oleh Soekarno, Bagaimana,
Ban? Setuju?. Soebandrio menjawab, Ya, bagaimana. Bisa berbuat apa saya? Bung
Karno sudah berunding tanpa kami, yang dipotong Soekarno, Tapi, kau setuju?. Soebandrio
menjawab lagi, Kalau bisa perintah lisan saja. Soebandrio melirik, tiga
jenderal itu melotot ke arah saya. Tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram
mendengar kalimat saya terakhir.
Lantas
Amirmahmud menyela, Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak.
Soebandrio menduga Soekarno sudah ditekan oleh tiga jenderal itu saat berunding
tadi. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan
kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga menyatakan
setuju. Bung Karno lantas teken.
Seingat
Hartini Soekarno, sebelum menandatangani Surat Perintah 11 Maret itu, Soekarno
sempat bertanya kepada Leimena, yang dijawab dalam bahasa Belanda, Tak ada
komentar, saya serahkan sepenuhnya kepada anda. Sedang dari Chairul Saleh ada
anjuran untuk berdoa dulu memohon petunjukNya. Terakhir dari Soebandrio ada
komentar, juga dalam bahasa Belanda, Kalau anda menandatanganinya, sama saja
masuk perangkap.
Pukul 20.30
para jenderal itu kembali ke Jakarta dengan membawa Surat Perintah 11 Maret
yang sudah ditandatangani Soekarno. Satu tembusan karbonnya diambil Brigjen
Jusuf dari Saboer, sementara Saboer sendiri menyimpan tembusan lainnya, yang
kesemuanya tanpa tanda tangan Soekarno.
Belakangan,
terutama setelah lengsernya Soeharto dari kekuasaannya, terjadi kesimpang siuran mengenai Surat
Perintah 11 Maret ini. Terutama karena dokumen asli yang ditandatangani
Soekarno dinyatakan hilang. Dikabarkan bahwa naskah dokumen asli ada di tangan
Jenderal Jusuf. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin dokumen asli itu bisa ada
di tangan Jusuf, karena dokumen itu sudah diserahkan langsung oleh ketiga
jenderal itu ke tangan Jenderal Soeharto di kamar tidur sang jenderal di Jalan
Haji Agus Salim.
Jusuf
sendiri, hanya memegang tembusan karbon surat
perintah itu yang tanpa tanda tangan Soekarno. Hilangnya‘ dokumen asli itu
menimbulkan tuduhan bahwa ada manipulasi atas Surat Perintah 11 Maret, yaitu
dengan memotong bagian batas waktu berlaku Surat Perintah tersebut, kemudian dicopy
lalu aslinya disembunyikan, yang kesemuanya dilakukan atas perintah
Soeharto.
Menurut
Sudharmono SH yang pernah menjadi Wakil Presiden dan dekat dengan Soeharto,
dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis buku ‘Titik Silang Jalan
Kekuasaan Tahun 1965’) mengatakan hilangnya dokumen itu adalah karena
terselip dan sepenuhnya kealpaan manusiawi dari Soeharto sendiri. Tetapi
sepanjang pokok-pokok Surat Perintah 11 Maret sebagaimana yang diingat
Soebandrio tampaknya tak ada perbedaan esensial dari yang ada dalam versi
Sekretariat Negara dan versi Jenderal Jusuf. Versi yang ada dalam buku memoar
Jenderal Jusuf yang disusun oleh Atmadji Sumarkidjo, Jenderal M. Jusuf,
Panglima Para Prajurit (2006, Penerbit Kata Hasta) adalah sebagai
berikut ini.
Untuk dan
atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto dapat
(1) Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan
dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi,
serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/
Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan Negara
Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar
Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan
Panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya; (3) Supaya melaporkan
segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggungjawabnya seperti
tersebut di atas.
Sampai
meninggal dunia 7 September 2004, Jenderal Jusuf tak pernah memberikan
penegasan mengenai isu tentang keberadaan dokumen asli Surat Perintah 11 Maret
maupun mengenai tembusan karbon yang ada di tangannya.
Dalam memoar
Jenderal Jusuf yang diterbitkan di tahun 2006 itu, soal dokumen asli itu maupun
soal manipulasi isi surat perintah tersebut bahwa surat perintah itu punya
jangka waktu masa berlaku tak dapat ditemukan pemaparannya. Kalau ada soal,
kenapa Jenderal Jusuf tetap menyimpannya rapat-rapat? Seakan-akan masalah itu
tersimpan dalam satu kotak Pandora, yang akan menyebarkan malapetaka dan kejahatan
bila dibuka. Sementara itu, tokoh Partai Katolik Harry Tjan Silalahi yang dekat
dengan Ali Moertopo, menyatakan bahwa ia sempat melihat sendiri asli Surat
Perintah 11 Maret itu, terdiri dari dua halaman, dan bersaksi bahwa sepanjang
yang ia ketahui tak pernah ada manipulasi. Bahwa dokumen asli surat itu hilang,
ia menunjuk pada kenyataan buruknya kebiasaan dalam administrasi pengarsipan di
Indonesia, karena naskah asli Pembukaan UUD 1945 pun hilang tak diketahui
sampai sekarang (Wawancara, Rum Aly).
Suatu hal
lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal
Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya
berada dalam kondisi tak mau dan tak bisa diklarifikasi, adalah apakah
peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu adalah by accident terjadi
karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada semacam setting
sebelumnya? Pertanyaan ini muncul, karena menurut Soeripto SH, yang kala itu
berkecimpung di lingkungan intelijen dan berkomunikasi intensif dengan Yoga
Sugama, Asisten I di Kostrad pada tanggal 10 Maret pukul 21.00 malam mendengar
dari seorang Letnan Kolonel Angkatan Darat bahwa esok hari Soekarno akan
menyerahkan kekuasaan kepada Mayor Jenderal Soeharto.
Artinya
fakta kehadiran dari apa yang disebut sebagai pasukan tak dikenal di depan
istana, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terlepas dari kontroversi yang
ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan
persoalan lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan
dan penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal
lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan
beberapa tahun terakhir.
No comments:
Post a Comment