Bagian Pertama
“Kenapa
menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama-tama adalah
seorang anggota TNI.
Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai
perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard
operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas
dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan „intuisi‟ tajam. Dan
tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi,
dan karenanya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana
yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia
bertindak akurat”.
TIGA
JENDERAL yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret
1966 Super Semar muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar
belakang situasi yang khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah
peluang yang juga khas, dalam suatu wilayah yang abu-abu. Mereka berasal dari
latar belakang berbeda, jalan pikiran dan karakter yang berbeda pula. Jenderal
yang pertama adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi Brawijaya Jawa
Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Brigadir
Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah
menjadi Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri
Perindustrian Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud,
kelahiran Jawa Barat dan ketika itu menjadi Panglima Kodam Jaya.
Mereka semua
mempunyai posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan kerapkali digolongkan
sebagai de beste zonen van Soekarno, karena kedekatan mereka dengan
tokoh puncak kekuasaan itu. Dan adalah karena kedekatan itu, tak terlalu sulit
bagi mereka untuk bisa bertemu Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret
1966. Namun pada sisi lain, sebagai sesama jenderal angkatan darat, mereka pun
bisa berkomunikasi dengan Jenderal Soeharto dan menjalin hubungan yang lebih
baik segera setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi, melebihi hubungan di
masa lampau.
Ketiga
jenderal ini mempunyai persamaan, yakni bergerak di suatu wilayah abu-abu dalam
proses silang politik dan kekuasaan aktual yang sedang terjadi saat itu.
Persamaan lain, adalah bahwa ketiganya tidak punya jalinan kedekatan dan memang
tampaknya tidak menganggapnya sebagai suatu keperluan dengan mahasiswa
pergerakan 1966. Bila bagi Muhammad Jusuf dan Basuki Rachmat ketidak dekatan itu adalah
karena memang tidak dekat saja, maka bagi Amirmahmud ketidak dekatan itu
kadang-kadang bernuansa ketidaksenangan sebagaimana yang terlihat dari beberapa
sikap dan tindakannya di masa lampau dan kelak di kemudian hari.
Namun, dalam
suatu kebetulan sejarah, baik kelompok mahasiswa 1966 maupun kelompok tiga
jenderal, sama-sama menjalankan peran signifikan dalam proses perubahan
kekuasaan di tahun 1966 itu, melalui dua momentum penting. Mahasiswa berperan
dalam pendobrakan awal dalam nuansa, motivasi dan tujuan-tujuan yang
idealistik, sedang tiga jenderal berperan dalam titik awal suatu pengalihan kekuasaan
yang amat praktis. Hanya bedanya, kelompok mahasiswa pergerakan 1966 bekerja
dalam suatu pola sikap yang lebih hitam putih terhadap Soekarno dan Soeharto,
sedangkan tiga jenderal Super Semar berada di wilayah sikap yang abu-abu
terhadap kedua tokoh kekuasaan faktual di tahun 1966 yang bergolak‘ itu.
Tetapi pada
masa-masa menjelang Sidang Istimewa MPRS 1967, Muhammad Jusuf melakukan juga
persentuhan dengan sejumlah eksponen mahasiswa pergerakan 1966, terutama
kelompok-kelompok asal Sulawesi Selatan yang sedang kuliah di Jakarta dan
Bandung. Jusuf meminta mereka untuk meninggalkan jalur ekstra parlementer dan
memilih jalur konstitusional melalui dukungan kepada proses politik di MPRS.
Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf memberi arah untuk mendukung Soeharto, namun
hendaknya terhadap Soekarno diberikan jalan mundur yang terhormat. Sebenarnya,
semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf beberapa kali melakukan juga
komunikasi dengan para mahasiswa Universitas Hasanuddin, khususnya bila ada
insiden yang melibatkan mahasiswa. Biasanya ia memarahi mahasiswa dengan bahasa
campuran Indonesia-Belanda, Jullie semua sudah dewasa…...
Kisah Tiga
Jenderal
Brigadir
Jenderal Muhammad Jusuf Amir, pada bulan-bulan terakhir menjelang Peristiwa 30
September 1965, sebenarnya berada dalam hubungan terbaiknya dengan Presiden
Soekarno. Pada bulan Juni tahun 1965 ia dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta dan
diminta menjadi Menteri Perindustrian Ringan dalam rangka peningkatan
Departemen Perindustrian menjadi Kompartemen Perindustrian Rakyat. Sebagai
Menteri Koordinator adalah Dr Azis Saleh. Sebenarnya tak ada alasan objektif
bagi Soekarno untuk mengangkat seorang jenderal perang seperti Jusuf untuk
menjadi Menteri Perindustrian apabila didasarkan kepada kompetensi keahlian teknis.
Tetapi memang semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf menunjukkan
perhatian memadai terhadap pembangunan perindustrian di wilayahnya. Meskipun
demikian, tak boleh tidak, alasan pengangkatan Jusuf adalah lebih karena kebutuhan‘
Soekarno untuk menarik para jenderal potensial ke dalam barisan pendukungnya.
Dalam
Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 – 28 Maret 1966), terdapat setidaknya
sembilan orang menteri berlatar belakang militer, termasuk Jenderal AH Nasution
dan Brigjen Muhammad Jusuf. Dalam deretan itu terdapat nama-nama Mayjen KKO Ali
Sadikin, Mayjen Dr Soemarno, Mayjen Prof Dr Satrio, Mayjen Achmad Jusuf, Letjen
Hidajat dan Laksamana Udara Iskandar. Selain itu ada empat Panglima Angkatan
yang diletakkan dalam posisi menteri. Beberapa menteri yang lain, diangkat pula
sebagai perwira tinggi tituler, setingkat jenderal.
Merasa
terkesan atas diri Brigjen Jusuf, suatu ketika Soekarno bahkan pernah
menyatakan di depan Yani dan Jusuf, berniat mengangkat Menteri Perindustrian
Ringan itu menjadi Wakil Perdana Menteri IV, suatu jabatan baru sebagai
tambahan atas tiga Waperdam yang telah ada. Dengan beberapa pertimbangan yang
cukup masuk akal, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani menyatakan
penolakan, langsung dalam pertemuan itu juga. Dan Soekarno mengurungkan
niatnya, tetapi menjelang akhir September 1965, ketika ia bermaksud menggeser‘
Yani dari jabatan Menteri Panglima AD, muncul lagi gagasan menciptakan posisi
Waperdam IV, yang kali ini sebagai tempat pembuangan ke atas‘ bagi Ahmad Yani.
Belakangan sekali, dalam Kabinet Dwikora II, yang dibentuk di tengah gelombang
demonstrasi mahasiswa, Februari 1966, jabatan Waperdam IV itu akhirnya terwujud
juga, yang diduduki oleh tokoh NU KH Idham Chalid.
Ketika
Soeharto diangkat menjadi Panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan
pangkat Mayor Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf
adalah Panglima Kodam Hasanuddin. Pada bulan yang sama, Soeharto juga diangkat
sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun
sama-sama berkedudukan di Makassar, Soeharto dan Jusuf tidak banyak memiliki
keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai Panglima Mandala, konsentrasi
Soeharto adalah pelaksanaan Trikora untuk pembebasan Irian Barat, sementara sebagai
Panglima Hasanuddin, Jusuf ditugaskan untuk menumpas DI-TII pimpinan Kahar
Muzakkar dengan catatan jangan sampai masalah DI-TII itu mengganggu tugas-tugas
Komando Mandala. Karena sekota, Soeharto dan Jusuf bagaimanapun kenal baik satu
sama lain. Namun, secara pribadi, yang lebih terjalin adalah kedekatan Brigjen
Jusuf dengan Mayjen Ahmad Yani yang tak lama kemudian diangkat menjadi Menteri
Panglima AD dengan pangkat Letnan Jenderal.
Ketika masih
berpangkat Kolonel dan menjabat Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi
Selatan dan Tenggara (KDMSST), Jusuf juga sempat amat bersimpati kepada
atasannya, KSAD Mayor Jenderal AH Nasution, dan memiliki sikap anti komunis
yang sama. Tetapi dalam Peristiwa Tiga Selatan, yakni pembekuan PKI di tiga
propinsi selatan, yakni Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Sumatera
Selatan, Kolonel Jusuf merasa kecewa terhadap Nasution. Ketika Jusuf dipanggil
Soekarno, bersama dua panglima selatan lainnya, dan didamprat habis-habisan,
Nasution tidak melakukan pembelaan di depan Soekarno. Kekecewaan itu ternyata
berlangsung berkepanjangan.
Jusuf tak
bisa melupakan insiden itu serta kekecewaannya terhadap Nasution… Ini juga
menjelaskan kemudian, mengapa Jusuf lebih senang berhubungan dengan Ahmad Yani,
lebih-lebih setelah Yani menggantikan kedudukan Nasution pada tahun 1962
sebagai KSAD.
Persentuhan
yang bermakna antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari setelah Peristiwa 30
September, sepulangnya Jusuf dari Peking (Beijing). Jusuf pada akhir September
1965 termasuk dalam delegasi besar Indonesia yang menghadiri perayaan 1 Oktober
di Peking. Dan ketika terjadi peristiwa di Jakarta pada 1 Oktober, berbeda
dengan umumnya anggota rombongan termasuk Waperdam III Chairul Saleh yang
memperoleh informasi versi pemerintah Peking, Brigjen Jusuf mendapat pula versi
kedua. Ini membuat dirinya memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan
bersama seorang anggota delegasi ia menempuh jalan panjang pulang ke tanah air.
Mula-mula
naik kereta api dari Peking, sambung menyambung 2000 kilometer jauhnya hingga
Guangzhou yang ditempuh selama dua hari satu malam. Lalu melintasi perbatasan
menuju Hongkong yang waktu itu masih dikuasai Inggeris. Atas bantuan Konsul
Jenderal RI di Hongkong, Jusuf berhasil memperoleh tiket penerbangan dengan
Garuda ke Jakarta route Tokyo-Hongkong-Jakarta yang menggunakan turbo
propeller jet Lockheed Electra yang berbaling-baling empat. Setibanya di
Kemayoran, Jusuf langsung menuju Markas Kostrad untuk bertemu Mayjen Soeharto,
seperti dituturkan Atmadji Sumarkidjo dalam ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima
Para Prajurit’ (Kata Hasta, Jakarta 2006).
Kenapa
menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? Saya pertama-tama adalah
seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai
perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard
operation procedure itu, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas
dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan intuisi tajam. Dan
tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi,
dan karenanya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana
yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya.
Kali ini,
kembali ia bertindak akurat. Dalam pertemuan dengan Soeharto ini Jusuf
menyatakan dukungan terhadap tindakan-tindakan yang telah diambil Panglima
Kostrad itu. Dan sejak saat itu, hingga beberapa waktu lamanya, ia bolak balik
ke Kostrad, karena ia telah menjadi tim politik‘ Soeharto. Barulah pada 6
Oktober saat berlangsungnya suatu sidang kabinet di Istana Bogor, de beste
zonen van Soekarno ini melapor kepada Soekarno tentang kepulangannya dari
ibukota RRT, Peking.
Mayor
Jenderal Basuki Rachmat, adalah yang paling senior dari trio jenderal 11 Maret
ini. Saat peristiwa terjadi ia adalah Panglima Divisi Brawidjaja. Hanya
beberapa jam sebelum para jenderal diculik dinihari 1 Oktober, Basuki Rachmat
bertemu dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediaman Jalan Lembang. Ia adalah
perwira tertinggi pangkatnya yang terakhir bertemu Yani dalam keadaan hidup.
Basuki Rachmat memiliki kedekatan dengan Yani, namun ia pun memiliki kedekatan
khusus dengan Soekarno untuk beberapa lama, sehingga ia pun sempat termasuk de
beste zonen van Soekarno.
Ia memiliki
akses untuk melapor langsung dan memang kerapkali dipanggil oleh Soekarno untuk
itu. Namun pada beberapa bulan terakhir sebelum Peristiwa 30 September,
Soekarno menurut beberapa jenderal berkali-kali menyatakan sedikit
ketidaksenangannya terhadap beberapa tindakan Basuki Rachmat sebagai Panglima
di Jawa Timur. Saya tidak pernah ditegur langsung oleh Presiden Soekarno,
tetapi saya pernah dengar dari pak Yani dan beberapa jenderal, demikian Rachmat
menjelaskan hubungannya dengan Soekarno di tahun 1965 (Wawancara Rum Aly dengan
Basuki Rachmat untuk Mingguan Mahasiswa Indonesia, Purwakarta Juli
1968).
Selain itu,
kenyataan bahwa ia berkali-kali bertemu Nasution pada bulan-bulan terakhir itu,
menambah ketidaksenangan Soekarno atas dirinya. Secara pribadi, ia tak tercatat
sebagai perwira yang condong kepada golongan kiri, namun sebaliknya ia tak ada
di barisan depan deretan perwira yang terkenal sebagai perwira anti komunis,
seperti misalnya Mayjen Ibrahim Adjie dan Brigjen Jusuf. Tetapi, sebagai
panglima di Jawa Timur, ia tak punya kemampuan prima membendung pengaruh PKI di
kalangan perwira bawahannya, sehingga banyak batalion Divisi Brawidjaja
dipimpin oleh komandan yang telah masuk kawasan pengaruh PKI. Salah satu
batalion, yakni Batalion 530 bahkan turut serta dalam Gerakan 30 September.
Tegasnya, ia berada di lingkungan yang abu-abu. Tentang Batalion 530, suatu
kali di tahun 1968, Basuki hanya mengatakan, yang sudah lewat, sudahlah.
No comments:
Post a Comment