”Untuk beberapa lama, soal Soekarno ini menjadi salah satu perbedaan
strategi gerakan antara mahasiswa Bandung dengan Jakarta. Perbedaan ini
berlangsung cukup lama.
Dalam demonstrasi-demonstrasinya, mahasiswa Jakarta
masih kerap meneriakkan yell-yell ‟Hidup Bung Karno‟, ‟Kami tetap mendukung
Bung Karno‟ seraya meneriakkan hujatan-hujatan terhadap tokoh lainnya, seperti
Soebandrio yang menjadi sasaran favorit. Sementara itu, dalam gerakan-gerakan
mahasiswa Bandung, sikap anti Soekarno sudah tampil sejak dini dalam kadar yang
amat tinggi”.
KEADAAN
ekonomi akibat kenaikan harga-harga yang menghimpit kehidupan rakyat ini lah
sebenarnya yang menjadi concern utama mahasiswa Jakarta saat itu. Dan
itulah sebabnya mereka merancang suatu demonstrasi besar-besaran untuk menuntut
penurunan harga. Untuk memenuhi ketentuan keamanan, sejumlah anggota KAMI dari
Jakarta, Marsillam Simanjuntak dan kawan-kawan datang ke Kodam untuk
menyampaikan pemberitahuan akan diselenggarakannya demonstrasi pada 10 Januari.
Di Kodam, mereka bertemu Kepala Staf Kodam Jaya Kolonel A.J. Witono. Perwira
itu menanyakan, apa yang menjadi tujuan demonstrasi, dijawab untuk menuntut
penurunan harga. Masa hanya itu saja? Itu tidak cukup, kurang lebih demikian
dikatakan Witono. Apa lagi? Ia mengusulkan, ajukan tuntutan lain juga. Saat
itulah, muncul usulan tuntutan pembubaran PKI dan rituling Kabinet Dwikora.
Bagi mahasiswa saat itu, kepentingan utama hanyalah bagaimana harga bisa turun.
Setelah dipertimbangkan, saran Witono itu dianggap tidak akan merugikan. Maka
Tritura pun terumuskan dan menjadi tema tuntutan dalam demonstrasi 10 Januari
1966. Marsillam mengakui, Tritura itu tidak lahir dari suatu proses perumusan
yang muluk-muluk, tetapi adalah sesederhana seperti apa yang dituturkannya.
Tentang
lahirnya rumusan Tritura ini, Cosmas Barubara, memberikan gambaran yang tidak
sesederhana penuturan Marsillam. Menurut Cosmas, Sehari sebelum tanggal 10
Januari 1966 di kantor Sekretariat Presidium KAMI Pusat, di Jalan Sam Ratulangi
No.1, diadakan rapat lengkap. Dalam rapat itu berkembang berbagai pandangan
yang bermuara kepada masalah harga-harga, masalah unsur PKI di kabinet, dan
masalah komunis. Setelah rapat berlangsung cukup lama mendengar pandangan
peserta rapat, maka rapat memutuskan menugaskan tiga orang menjadi perumus
hasil rapat. Ketiga orang itu adalah Nazar Nasution, Savrinus Suardi dan Ismid
Hadad. Ketiga anggota Presidium tersebut merumuskan suatu pernyataan berdasarkan
masukan-masukan yang ada dan menghasilkan apa yang kemudian terkenal dengan
sebutan Tritura yaitu:
1 Turunkan
Harga,
2 Rombak
kabinet dan
3 Bubarkan
PKI.
Apa
yang sebenarnya terjadi? Salah satu kemungkinan adalah bahwa masukan dalam
pertemuan Marsillam cs di Kodam Jaya itu juga sampai ke tim perumus di Jalan
Sam Ratulangi 1, atau sebaliknya. Atau, pada waktu bersamaan, gagasan itu
memang sudah terpikirkan dan dimiliki banyak aktivis dan perwira militer
sehaluan karena pembacaan yang sama terhadap situasi.
Keresahan
terhadap keadaan ekonomi yang makin memburuk dan menghimpit kehidupan rakyat
sehari-hari, sebenarnya dirasakan pula oleh sejumlah aktivis mahasiswa di
Bandung. Sebagian dari mereka
termasuk di antara yang memprakarsai pernyataan penolakan terhadap Dewan
Revolusi 1 Oktober dan appel serta gerakan anti PKI 5 Oktober. Keresahan mereka
bukan hanya kepada perkembangan ekonomi, tetapi juga perkembangan politik pada
umumnya, terutama yang terkait dengan sederetan tindak-tanduk politik Soekarno,
yang tetap membela PKI dan menolak membubarkannya.
Sehari
sebelum Natal di tahun 1965 itu, Alex Rumondor yang bertemu seorang aktivis
Gemsos, Bonar Siagian, menyampaikan ajakan untuk mengorganisir suatu pertemuan
di antara para aktivis mahasiswa Bandung, karena menurut Alex sudah saatnya
untuk mengambil tindakan-tindakan menghadapi perkembangan situasi. Ajakan
serupa disampaikan Alex kepada Adi Sasono. Untuk itu, Alex menyiapkan suatu draft
Petisi Amanat Rakyat, yang isinya menggugat langsung Soekarno, sikap
politik maupun kebijakan ekonominya. Pertemuan tak dapat segera dilakukan
karena berimpitnya libur-libur natal dan akhir tahun, yang bersamaan pula
dengan bulan puasa.
Pertemuan
yang direncanakan segera setelah perayaan akhir tahun, ternyata baru bisa
berlangsung 8 Januari 1966. Di antara yang hadir tercatat nama-nama seperti
Rahman Tolleng dan Muslimin Nasution, dua orang yang dulu terkait Peristiwa 10
Mei 1963. Lalu ada Rachmat Witoelar yang adalah Ketua KOMII. Hadir pula
sejumlah aktifis yang berlatar belakang HMI seperti Bagir Manan dan Iwan
Sjarif. Nama-nama lain adalah Soegeng Sarjadi yang belakangan diajak bergabung
sebagai anggota HMI, Erna Walinono, Fred Hehuwat, Rohali Sani, Jakob Tobing,
Robby Sutrisno, Rudianto Ramelan, Aswar Aly, Hasjroel Moechtar dan Mangaradja
Odjak Edward Siagian yang juga adalah seorang perwira cadangan jalur wajib
militer.
Mereka
ini semua berlatar belakang campuran, mulai dari organisasi-organisasi
mahasiswa lokal yang menjadi cikal bakal Somal, Pelmasi, Mahasiswa Pancasila sampai yang berhaluan
independen. Dan tentu saja hadir tiga pencetus awal, yakni Alex Rumondor, Bonar
Siagian dan Adi Sasono, yang ketiganya kebetulan punya latar belakang berbeda.
Alex adalah tokoh IPMI yang berlatar belakang Kristen, Bonar berlatar belakang
sosialis anggota Gemsos, serta Adi Sasono seorang tokoh HMI namun dikenal punya
kecenderungan pemikiran sosialistis. Adi adalah cucu seorang tokoh Masjumi yang
termasyhur, Mohammad Roem. Tetapi yang terbanyak sebenarnya adalah mahasiswa-mahasiswa
tanpa latar belakang pemikiran politis sama sekali seperti misalnya
Erna Walinono belakangan dikenal sebagai Erna Witoelar mahasiswi yang terselip
di antara aktivis yang umumnya mahasiswa putera.
Pada
masa berikutnya, gerakan-gerakan mahasiswa di Bandung diikuti oleh mayoritas
mahasiswa seperti Erna sehingga gerakan-gerakan itu lebih menonjol sebagai
gerakan moral dan gerakan masyarakat. Motivasi yang menggerakkan mereka adalah
pertama sikap yang dari semula tidak menyenangi PKI sebagai partai yang berpenampilan
otoriter dan provokatif, serta realitas ekonomi rakyat yang makin memburuk di
bawah rezim Soekarno. Pada akhirnya pula, karena Soekarno memperlihatkan
ciri-ciri otoriter dan terlalu dekat dengan PKI, rasa tidak senang mahasiswa
juga mengarah kepada dirinya, ditambah lagi sikapnya yang mengabaikan perbaikan
bidang ekonomi.
Pertemuan
pertama berlangsung di salah satu ruangan Berita-berita ITB, sebuah
buletin harian yang diterbitkan para mahasiswa di kampus Ganeca, yang entah
bagaimana bisa bocor ke pihak intelijen, sehingga pada waktu pertemuan
berlangsung sejumlah intel berseliweran di kampus ITB mencari tepatnya di mana
pertemuan berlangsung. Pertemuan yang tadinya diperkirakan bisa cepat mengambil
keputusan-keputusan, baik mengenai petisi yang akan dicetuskan maupun aksi-aksi
yang akan segera dilakukan, ternyata berlangsung berlarut-larut. Persoalan yang
paling menyita waktu adalah mengenai Soekarno. Beberapa rumusan mengenai
Soekarno tak dapat diterima oleh sejumlah di antara yang hadir dengan berbagai
argumentasi.
Ada
yang menghendaki agar predikat-predikat yang ditujukan kepada Soekarno jangan
terlalu keras, seperti misalnya terminologi the top of the ruling class’.
Begitu pula, ada yang menghendaki agar kritikan yang akan dilontarkan kepada
Soekarno lebih diperlunak. Hasjroel mengutip pemaparan Alex bahwa meskipun
dalam soal anti komunis semua yang hadir bersatu, tetapi rasa ketimuran yang
negatif seperti bapakisme, rasa takut kepada yang berkuasa, takut ditangkap dan
rasa tidak aman telah berpadu menjadi penyebab berlarut-larutnya diskusi.
Selain
itu, wadah-wadah organisasi yang ada ternyata kurang siap, sehingga harus
didesak-desak untuk bertindak. ―Banyak dari yang hadir merupakan fungsionaris
dan pimpinan organisasi mahasiswa, seperti Dewan Mahasiswa, KAMI Komisariat
Universitas dan sebagainya. Mereka merasa harus mengadakan rapat dan konsultasi
dulu dengan pengurus lainnya. Bahkan, beberapa diantaranya mengatakan, bahwa
mereka punya massa‘, jadi harus mempertanggungjawabkan keselamatan dan keamanan
massanya terhadap risiko yang mungkin terjadi. Berbeda dengan pribadi-pribadi
yang mengambil prakarsa, mereka hanya bertanggungjawab atas dirinya sendiri
karena tidak punya massa. Alhasil, berkepanjangan.
Tapi
akhirnya dengan sejumlah perubahan, petisi ditandatangani juga oleh duapuluh
delapan mahasiswa. Tetapi karena sudah terlalu sore dan waktu berbuka puasa
sudah tiba, diputuskan pertemuan akan dilanjutkan esok malam, 9 Januari 1966,
di kediaman Alex Rumondor di Jalan Merak 4 Bandung. Pertemuan berikut itu untuk
persiapan rencana aksi dan finalisasi Petisi Amanat Rakyat. Untuk persiapan
awal sudah dilakukan pembagian tugas. Tanggal 8 Januari malam itu, beberapa
mahasiswa melanjutkan pertemuan untuk persiapan rencana demonstrasi. Mereka
adalah sejumlah mahasiswa ITB, yakni Rudianto Ramelan, Thojib Iskandar, Fred
Hehuwat, Pande Lubis dan Zainal Arifin (Iping), bersama sejumlah mahasiswa dari
suatu kelompok yang dikenal sebagai group Bangbayang.
Pertemuan-pertemuan
lanjutan ternyata tetap saja tidak mudah. Malah masih berkepanjangan sampai
dengan 12 Januari. Sementara itu, mahasiswa Jakarta sudah berhasil bergerak
pada tanggal 10 Januari 1966 dan mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat. Mahasiswa
Jakarta berhasil lebih menyederhanakan‘ persoalan dengan tidak menyentuh lebih
dulu mengenai Soekarno dan membatasi diri terutama pada masalah kenaikan harga,
dan mencukupkan diri dengan sedikit muatan tambahan bersifat politis, mengenai
pembubaran PKI dan rituling kabinet, seperti yang dituturkan Marsillam
Simanjuntak.
Untuk
beberapa lama, soal Soekarno ini menjadi salah satu perbedaan strategi gerakan
antara mahasiswa Bandung dengan Jakarta. Perbedaan ini berlangsung cukup lama.
Dalam demonstrasi-demonstrasinya, mahasiswa Jakarta masih kerap meneriakkan
yell-yell Hidup Bung Karno, Kami tetap mendukung Bung Karno seraya meneriakkan
hujatan-hujatan terhadap tokoh lainnya, seperti Soebandrio yang menjadi sasaran
favorit. Sementara itu, dalam gerakan-gerakan mahasiswa Bandung, sikap anti
Soekarno sudah tampil sejak dini dalam kadar yang amat tinggi. Pada tanggal 12
Januari 1966 itu, kami berkesimpulan, jika debat-debat terlalu lama, tindakan
aksi harus dijalankan saja‖, demikian Alex Rumondor mencatat. Maka Alex
mengusahakan agar pressure group berkumpul lagi di Jalan Merak 4 untuk
membahas rencana gerakan secara lebih rinci.
Biarpun
malam itu masih terjadi debat yang seru, tetapi akhirnya konsep dapat diterima.
Yang hadir saat itu adalah Rahman Tolleng, Bonar Siagian, Rudianto Ramelan,
Fred Hehuwat, Zainal Arifin, Thojib Iskandar, Robert Sutrisno, Awan Karmawan
Burhan dan beberapa orang lainnya lagi. Termasuk Alex sendiri.
Setelah konsep disetujui, timbul pertanyaan
bagaimana pelaksanaan demonstrasi besoknya? Apakah aksi akan berjalan tanpa
dipertangggungjawabkan secara organisatoris? Jika ada apa-apa, siapa yang akan
bertanggungjawab?. Alex lalu mengusulkan agar KAMI dan KOMII dikerahkan. Untuk
itu harus dicari orang-orangnya. Rachmat Witoelar Ketua KOMII datang menjelang
pukul 23.00. Daim A. Rahim Ketua KAMI Bandung, tak berhasil ditemukan, tetapi
sebagai gantinya, Robby Sutrisno berhasil membawa datang Sekertaris KAMI
Mohammad Ta‘lam Tachja. Bersamaan dengan itu, Adi Sasono juga datang. KOMII dan
KAMI setuju bergerak bersama-sama.
Pengerahan mahasiswa dari kampus Universitas
Parahyangan dijamin oleh Awan Karmawan Burhan. Sedang pengerahan mahasiswa
Universitas Padjadjaran diserahkan kepada Iwan Sjarif, yang untuk itu merasa
perlu untuk meminta izin rektor lebih dulu. ‘Beruntung‘ bahwa Rektor Sanusi
Hardjadinata, tidak berkeberatan. Pengerahan di ITB sudah terlebih dahulu
disiapkan oleh Group Bangbayang.
No comments:
Post a Comment