Gerakan 30
September merupakan nama resmi gerakan sesuai dengan apa yang telah diumumkan
oleh
RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965. Nama ini untuk keperluan
praktis media massa kemudian ditulis dengan G-30-S atau G30S. Sedang Gestapu
(Gerakan September Tiga Puluh) suatu nama yang dipaksakan agar berkonotasi
dengan Gestapo-nya Hitler yang tersohor keganasannya itu. Rupanya sang
konseptor, Brigjen Sugandhi, pimpinan koran Angkatan Bersenjata, telah banyak
belajar dari sejarah dan jargon nazi Jerman.
Jelas nama
ini merupakan pemaksaan dengan memperkosa kaidah bahasa Indonesia (dengan hukum
DM), kepentingan politik menghalalkan segala cara. Nama Gestapu digalakkan
secara luas melalui media massa, sedang dalam buku tulisan Nugroho Notosusanto
maupun Buku Putih digunakan istilah G30S/PKI. Barangkali ini merupakan standar
ganda yang dengan sengaja dilakukan; yang pertama untuk menggalakkan konotasi
jahat Gestapo dengan Gestapu/PKI, sementara buku yang ditulis oleh pakar
sejarah itu bernuansa lebih ilmiah‖ bahwa G30S ya PKI.
Sementara
itu sejumlah pakar asing dalam karya-karyanya menggunakan istilah Gestapu
ciptaan Orde Baru ini. Mungkin ada di antara mereka sekedar mengutip istilah
yang digunakan begitu luas dan gencar oleh media massa Orba secara membebek
tidak kritis. Dengan demikian dari istilah yang digunakan saja tulisan itu
sudah memulai sesuatu dengan berpihak secara politik kepada rezim Orba yang
berkuasa. Di antara pakar ini, Prof Dr Victor M Fic, seorang sejarawan Kanada,
telah menulis buku yang ―menghebohkan itu karena secara murahan menuduh Bung
Karno sebagai dalang G30S. Di seluruh bukunya ia menggunakan istilah Gestapu,
ketika dia menggunakan istilah netral ‗Gerakan 30 September‘ selalu diikuti
dalam kurung (GESTAPU).
Sementara
orang mengartikan penamaan Gestok (Gerakan 1 Oktober) hanya untuk gerakan yang
dilakukan oleh Mayjen Suharto pada tanggal tersebut daripada gerakan Letkol
Untung. Tetapi mungkin saja bahwa yang dimaksud Bung Karno adalah gerakan yang
dilakukan Letkol Untung menculik sejumlah jenderal dan kemudian membunuhnya
(terlepas dari adanya komplotan lain dalam gerakan yang melakukan pembunuhan
itu).
Penamaan itu
juga terhadap gerakan Mayjen Suharto yang dilakukan menghadapi gerakan Untung
serta mencegah kepergian Jendral Pranoto dan Umar Wirahadikusuma menghadap
Presiden ke PAU Halim, sekaligus mengambilalih wewenang Men/Pangad Jenderal
Yani yang sudah dipegang oleh Presiden Sukarno serta membangkang terhadap
perintah-perintah Presiden untuk tidak melakukan gerakan militer.
Tentu saja
penamaan Gestok tidak disukai oleh rezim Orba. Dalam pidatonya pada 21 Oktober
1965 di depan KAMI di Istora Senayan, Presiden Sukarno menyebutkan, ..Orang
yang tersangkut pada Gestok harus diadili, harus dihukum, kalau perlu ditembak
mati… Tetapi marilah kita adili pula terhadap pada golongan yang telah
mengalami peruncingan seperti Gestok itu tadi. Mungkin sekali ini maksudnya
setelah pelaku peristiwa 1 Oktober (Untung cs) yang hanya berumur sehari itu
diadili, maka juga terhadap pelaku yang membuat runcing persoalan sesudah itu,
siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto cs. Dalam pidato Pelengkap Nawaksara di
Istana Merdeka pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno dengan jelas menyebut
pembunuhan para jenderal itu dengan Gestok lalu dilanjutkan dengan bertemunya
tiga sebab (a) keblingernya pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi Nekolim, (c)
adanya oknum ―yang tidak benar.
Dalam
dokumen yang disebut ―Dokumen Slipi yang berisi hasil pemeriksaan Bung Karno
sebagai saksi ahli dalam perkara Subandrio dan merupakan kesaksian terakhir BK
(1968), ―…1 Oktober 1965 bagi saya adalah malapetaka, karena gerakan yang
melawan G30S pada 1 Oktober 1965 itu telah melakukan pembangkangan terhadap
diri saya, sejak saat itu gerakan yang melawan G30S tidak tunduk pada perintah
saya, maka saya berpendapat G30S lawannya Gestok…. Jika dokumen ini memang
benar adanya, hal itu sesuai dengan seluruh perkembangan kejadian serta
analisis BK tentang G30S tersebut di atas. Brigjen Suparjo segera menghentikan
gerakan G30S sementara Mayjen Suharto meneruskan Gestok-nya. Tetapi sejarah
juga menunjukkan bahwa Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa pun
terhadap jenderal yang satu ini, justru melegitimasi dengan mengukuhkan
kedudukannya.
Sebenarnyalah
peristiwa G30S di Jakarta hanya berlangsung selama satu hari, sementara di Jawa
Tengah yang tertinggal itu berlangsung beberapa hari (sesuatu yang aneh dan
perlu dikaji lebih lanjut). Gerakan selanjutnya, yang disebut BK Gestok,
dilakukan oleh Mayjen Suharto dengan menentang dan menantang perintah Presiden
dengan menindas PKI dan gerakan kiri lainnya, membantai rakyat dan pendukung
BK, ujungnya menjatuhkan Presiden Sukarno. Inilah tragedi sebenarnya dengan
pembukaan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama oleh pihak
militer sendiri.
No comments:
Post a Comment