Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia) didirikan pada 1954, sedang cikal bakalnya sudah
berdiri pada 1950.
Organisasi ini sangat aktif sampai tragedi 1965, terutama di
kalangan rakyat kecil dari perkotaan sampai pedesaan. Para pemimpin Gerwani terdiri
dari kaum intelektual cerdik pandai maupun kaum aktivis buruh dan tani. Mereka
telah menghimpun kaum perempuan untuk berjuang bersama kaum laki-laki merebut
hak-hak sosial politiknya.
Di bidang
pendidikan mereka telah mendirikan sekolah Taman Kanak-kanak, utamanya untuk
kalangan tak berpunya dengan bayaran kecil maupun gratis di seluruh pelosok
negeri. Gerakan ini juga giat mendirikan tempat penitipan anak-anak bagi ibu
pekerja dengan bayaran ringan maupun gratis. Gerwani merupakan organisasi kaum
perempuan paling luas menjangkau seluruh pelosok Jawa khususnya.
Mereka
memberikan pendidikin kesadaran akan hak-hak perempuan termasuk hak-hak politik
dan kesadaran politik. Mereka aktif juga dalam kesenian, kursus masak-memasak,
pemeliharaan bayi dan anak, kesehatan perempuan dan anak-anak. Pendeknya
organisasi ini telah melakukan pemberdayaan perempuan di seluruh kalangan,
utamanya kaum buruh dan tani serta kaum pinggiran, sesuai dengan cita-cita Ibu
Kartini. Gerwani ini pula yang menjadi primadona sasaran fitnah keji rezim
militer Orba dengan segala macam dongeng horornya. (Lihat Lubang Buaya).
Pertama-tama
propaganda hitam Orba pada 1965 dimulai dengan menyerang Gerwani habis-habisan
sebagai bagian dari serangan terhadap PKI. Rusaknya nama dan porak porandanya
organisasi perempuan ini berarti rusak dan lumpuhnya separo organisasi kiri
Indonesia. Setelah itu dilakukan serangan fisik terhadap PKI dan seluruh
organnya sebagai bagian penumpasan lebih lanjut pada 1965/1966. Tidak aneh jika
kekejaman terhadap tapol perempuan anggota Gerwani maupun yang didakwa Gerwani
dilakukan dengan amat kejamnya, sering lebih mengerikan karena harkat
perempuannya.
Seperti
disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa
lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan
Gerwani sebagai gerakan perempuan kiri yang dimanipulasi sebagai pelacur bejat
moral. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral
religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. Kaum perempuan tidak
hanya mengalami penderitaan karena diciduk, ditahan, dipenjarakan, dibuang,
disiksa, tetapi juga ditelanjangi dan diperkosa bergiliran dan dilecehkan
martabat kemanusiaannya, dihancurkan rumahtangganya, pendeknya mereka mengalami
penderitaan luar biasa lahir dan batin. Perkosaan telah menjadi kecenderungan
umum para petugas keamanan ketika berhadapan dengan tapol perempuan. Sering
pelecehan seksual dan perkosaan terhadap tapol perempuan menyebabkan kehamilan
dan yang bersangkutan melahirkan di tempat tahanan.
Penderitaan
itu menjadi lebih lengkap lagi karena mereka melihat kehancuran keluarga dan
nasib anak-anaknya, terpisah-pisah di tempat yang berbeda-beda dengan kondisi
terpuruk yang berbeda-beda pula dengan perlakuan buruk negara dan masyarakat
yang diprovokasi. Tak jarang para ibu ini telah kehilangan jejak anak-anaknya
selama bertahun-tahun setelah dibebaskan dari penjara, bahkan sebagian sampai
saat ini. Tak jarang pula setelah orangtua mereka dibebaskan, anak-anak yang
berkumpul kembali dengan orangtuanya, terutama dengan ibunya, anak-anak
memusuhi dirinya karena merasa menjadi korban perbuatan ibunya, suatu penilaian
amat tidak adil. Itulah salah satu buah indoktrinasi menyesatkan rezim Orba
selama bertahun-tahun yang sangat merusak.
Suami
seorang perempuan kembang desa di Purwodadi yang anggota BTI ditangkap pada
November 1965, kemudian dibuang ke Pulau Buru. Setiap malam sang isteri kembang
desa ini digilir diperkosa oleh pamong desa setempat, tentara, pentolan ormas
agama dan nasionalis. Bahkan suatu kali datang seorang tokoh penjagal kaum
komunis yang ketika malam datang menidurinya dengan pakaian berlumuran darah
dan kelewang yang besimbah darah pula. Ini bukan dongeng horor model Lubang
Buaya, tetapi sejarah horor, sejarah hitam legam kaum militer Orba sebagai
panutannya yang telah menciptakan kondisi dan konsep kebuasan tersebut. (Baca
buku John Roosa cs [ed], Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Elsam, Jakarta, 2004).
Sungguh nama
baik Gerwani yang telah mengabdikan dirinya untuk Ibu Pertiwi dan rakyat kecil
umumnya itu, sebagai kelanjutan cita-cita Ibu Kartini telah dinodai dan dirusak
habis-habisan dengan fitnah jahat tiada tara. Dengan upaya bersama semua pihak
yang peduli, terlebih lagi kaum sejarawan dan aktivis perempuan, hari depan
negeri ini akan memberikan tempat yang layak bagi Gerwani dalam sejarah bangsa.
No comments:
Post a Comment