BAB 2 : GERAKAN YANG DIPELINTIR BUNG KARNO MASUK ANGIN
Ada
peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto,
sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu
adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965. Dalam buku-buku sejarah
banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat.
Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter
RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis.
Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini
menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari
peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI yang
saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno merasa khawatir pimpinan nasional
bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu,
mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun,
1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit
keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang
G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang
ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya Bung Karno, DN Aidit dan
dokter RRT ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan
perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa
proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah
sejarah versi plintiran.
Tetapi
ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana
Menteri-II, dr. Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat
dengan Bung Karno. Saya juga mengetahui secara persis peristiwa kecil itu. Yang
benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang
dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan
dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain:
Bung Karno sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa.
Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena.
Jadi
ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno. Penyakit Bung Karno saat itu adalah:
masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung Karno di
hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga
mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu.
Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan- jalan meninjau beberapa pasar di
Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan
keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan
Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin. Tetapi kabar yang beredar adalah
bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian
menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus
G30S yang didalangi oleh PKI.
Kabar
itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti
bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan
PKI berontak atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI
memiliki alasan untuk melakukan kudeta. Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili,
ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI
sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh
sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965.
Ia
mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden
dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung
Karno meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau
kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan
di banyak buku. Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan
balance sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya
lupa namanya), Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya
dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak diadili dengan tuduhan terlibat
G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan.
Kini
saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak
benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak
masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu
gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan
sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD.
Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab
dengan PKI?
Mengapa
PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno
yang segar bugar?Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto
jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan
provokasi-provokasi seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang
digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului memukul
AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI
ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab, AD akan dengan
seolah-olah terpaksa membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini
malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu
Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang
sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang
canggih.
Tetapi
PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi
sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit
sangat besar, dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh
akhirnya PKI dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam
peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas. Pelaku G30S adalah tentara
dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit
langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
DEWAN JENDERAL
Isu
Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap
di bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan
persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian
terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan persenjataan gratis untuk sekitar
40 batalyon dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang diterima,
barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima.
Tapi Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.
Ternyata
Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para
perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu.
Empat angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai
adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus
bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu
disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah bahwa Dewan
Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.
Menjelang
G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya
merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui Angkatan
Kelima. Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang
lain. Saat itu juga beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad
akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno
memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00
WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan dibunuh.
Yang
paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri.
Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Birawa ia memang harus
tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan keselamatan Presiden.
Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal
dengan cara menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto.
Menanggapi itu Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan
pasukan. Ini diceritakan oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di
LP Cimahi, Bandung (lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama).
Saya
menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya
di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya
dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang
akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung
saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas berusaha mencari tahu lebih dalam.
Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani
ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang
kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.
Masih
tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari
Soepardjo saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar.
Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru. Pada 26 September
1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari empat
orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan
Agus Herman Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah orang NU
sedangkan dua nama belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21
September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di
Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan
Jenderal. Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman
pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman
(salah satu korban G30S) yang membacakan susunan kabinet.
Susunan
kabinet versi Dewan Jenderal menurut rekaman itu adalah sebagai berikut: Letjen
AH Nasution sebagai Perdana Menteri Letjen A Yani sebagai Waperdam I (berarti menggantikan
saya) merangkap Menteri Hankam, Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,
Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri, Letjen S Parman sendiri menjadi
Menteri Kehakiman, Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto)
menjadi menteri Pertambangan.
Rekaman
ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini
sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno.
Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa
dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali
sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya
untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya. Bisa
untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal – yang semula
kabar angin benar-benar ada.
Hampir
bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen
ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar
Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar
Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat
tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah
Kalimantan).
Saat
itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu
Malayia mengirimkan pasukan ke Borneo. Saya adalah orang yang pertama kali
menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja
kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka
oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang
mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat.
Namun
berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di
rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi
distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan
demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran
film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi
dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan
kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk
menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan
seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia.
Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup
dilakukan bersama our local army friends. Sungguh gawat. Sebelumnya sudah
beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia.
Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah
mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia.
Saya
selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu.
Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik. Akhirnya
dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno.
Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya
terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli.
Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno
saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga
membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar.
Namun
sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda
kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan,
Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu. Terlepas dari asli tidaknya dokumen itu, saya
menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi
politik Indonesia yang memang tidak stabil. Saya mengatakan provokasi jika
ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran
merasa ngeri.
Kedua,
dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno
dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer
yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah
provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika
diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi
itu memang cukup rumit untuk dipastikan. Di sisi lain, Soeharto juga bermain
dalam isu Dewan Jenderal.
Beberapa
waktu sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S
Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal adanya
penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak ada yang
tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu. Parman tidak terlalu serius
menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga: Apakah
pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak. Lantas
Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum
ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti.
Setelah
G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota
Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disampaikan
oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang
dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman
sudah tahu. Sekaligus jika memungkinkan mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman
terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman
ini bisa disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani. Dengan reaksi Parman
seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak
mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-benar ada.
Parman
tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga bisa
disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan
saya pada Yani soal isu Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya
persiapan sama sekali. Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info,
sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali
belum siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh,
rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan
memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok lawan:
Kelompok Yani. Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila
Parman tidak berhasil dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya.
Peringatan itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka
Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar
strategis.
PERAN AMERIKA SERIKAT
Apakah
AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS
takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung kiri,
maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno. Selain
tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan
secara umum di Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan
timah; Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki
segalanya di bidang tambang dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas
dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di
Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan lainnya bagi AS harus aman.
Karena
itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di Indonesia. Namun
mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk
membujuk Bung Karno agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis
Bung Karno juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan
Bersenjata dan PKI. Tak kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati
terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia
Tenggara dengan politik Non-Bloknya.
Itulah
sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal
sakitnya Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan sehingga
PKI masuk ladang pembantaian sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk
angin. Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada
gerakan perebutan kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu
dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut kekuasaan,
karena takut negara akan dikuasai oleh militer.
Dan
karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer. Dewan Jenderal lebih
banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu
senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap Angkatan Kelima.
Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya
disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya
otentik, namun mengapa dibocorkan? Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada
pertengahan November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke
Indonesia.
Bantuan
tersebut mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga
tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965
terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu sesudahnya, AD
di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda membantai PKI. Pada
saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan
simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi
janggal.
Suatu
logika yang sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI. Baru beberapa
waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamu
flase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting.
Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda
membantai PKI. Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat
terlambat.
Bung
Karno sudah menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya
bahwa AS ikut bermain dalam rangkaian G30S. Bagi AS, menghancurkan komunis di
Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menjamin dominasi AS di Asia Tenggara. Di sisi
lain, reputasi mereka di bidang subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya
agen-agen CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai negara,
walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh rakyat
AS sendiri.
Salah
satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk Indonesia).
Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di
Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses
menjalankan misi AS membantu pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee
yang kemudian memimpin pemerintahan militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia
menggantikan Howard Jones menjelang meletusnya G30S.
Jadi
pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia.
Apalagi pada Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara.
Praktis konsentrasinya khusus untuk penghancuran komunis terbagi. Baik di Indonesia
maupun Vietnam Utara, mereka butuh mitra lokal. Di Indonesia mereka merekrut
Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam
adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di PKI sangat strategis
yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua
PKI DN Aidit.
Sebaliknya,
para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa
Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar, apakah Sjam itu
tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang disusupkan ke
dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki
mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang berseberangan.
Tetapi
permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus
1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit
Presiden. Juga Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika
Presiden meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh. Di pengadilan Sjam
mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia sendiri, namun
itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya.
Inilah
satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim
pada taggal 30 September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia
ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung
oleh Soeharto) beberapa hari setelah G30S di Boyolali, Jateng. Jika Sjam itu
seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat menguntungkan pihak
yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam
diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak
bermanfaat bagi dirinya sendiri.
MENJALIN SAHABAT LAMA
Ini
adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin
hubungan dengan dua sahabat lama Letkol TNI AD Untung Samsuri dan Kolonel TNI
AD Abdul Latief beberapa waktu sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi
komandan pasukan yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief hanya
dituduh terlibat dalam peristiwa itu. Untung adalah anak buah Soeharto ketika
Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng. Untung
bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. Selama beberapa bulan berkumpul
dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak
menyukai politik.
Ia
adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap
prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari fakta bahwa
sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis
hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban,
vonis buat saya itu hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa
begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh
para jenderal. Soal ini akan dibeberkan di bagian lebih lanjut. Sekitar akhir
1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka
berkumpul lagi.
Mereka
dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu
Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah
Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung
tampak menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan
belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15
Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei
1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di medan
perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang
Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.
Setelah
itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden
Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana,
Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas
baru Untung itu membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke
Kostrad menjadi anak-buahnya, karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi
apa mau dikata, Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite
kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa. Saat itu konflik Bung Karno dan PKI
di satu sisi dengan para pimpin AD di sisi lain belum terlalu tajam. Dalam
perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin memuncak.
Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin
meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah
ke suatu kondisi yang mengkhawatirkan.
Sebab
Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat dan
sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD.
Di sisi lain, PKI seperti sudah saya sebutkan di muka saat itu memiliki massa
dalam jumlah sangat besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik
ini semakin tajam. Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur
bahwa Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa.
Kedudukan
Untung di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi Soeharto yang
menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung
kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya Soeharto sempat marah dan
membenci Untung. Bukti membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu
kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan Soeharto bersama
istrinya, Ny. Soehartinah (Tien) menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang
komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar,
memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu
sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak
benar- benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri
pernikahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan
elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada
perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.
Di
sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief
yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang
tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda
dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan
Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya
(ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini
disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi
Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah
sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur
kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda.
Yang
tidak mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan
tidak salah jika ditembak mati. Soeharto (di kemudian hari) mengklaim
keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret
1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai buku,
bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto
adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu
tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia
kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan
Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis
pertempuran.
Tentara
kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat
sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang
begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti
bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai
penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda
banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan
pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak
terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara
kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi
pertempuran hebat di seantero Yogyakarta.
Pada
scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur
serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan
pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan
balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata
tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi sekilas diketahui 12 orang
terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di
medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda
gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.
Nah,
saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka
berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan
soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara
dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang
diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada
Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi
misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung
memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang ada
di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka.
Belanda
akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara
keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope
kecil pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu
adalah Soeharto yang boleh saja menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan
Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide
serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak benar).
Namun
soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan
tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia
diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu,
skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto
sudah menjadi pihak yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun
informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang menang.
Setelah
Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya
menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade
Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka
Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi
oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi di rumahnya oleh
Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto
mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti
Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto.
Kini
cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga
Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman
lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung
dan Latief) memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu:
Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya
yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana. Tidak ada
orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio
ini tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di
jajaran militer. Namun saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya
feeling bahwa persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling tidak mereka
bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh Nasution, yakni: menciptakan
Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin
tajam.
Selain
membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal dari
Divisi Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur
II). Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena
hubungan persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah
pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu
isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu
tersebut kepada Soeharto.
Ternyata
Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya
diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya.
Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman
mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro. Pada saat yang hampir
bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga
melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan
Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan
Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung
memang merupakan pembantu setia Bung Karno.
Dalam
posisinya sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa,
sikapnya sudah benar. Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana
begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan
bantuan pasukan kepada Untung: Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu,
katanya. Untung gembira mendapat dukungan.
Ia
menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik.
Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa
Tengah, katanya. Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak
berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana,
antara Latief bertemu Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti itu
terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya hubungan
Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan
Jenderal.
Namun
mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga terjalin
baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto
mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal. Bantuan Soeharto ternyata
dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto
didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung.
Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur
Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September
1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal.
Dalam
komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan
Soeharto dari daerah dan Kostrad. Setelah G30S meletus dan Soeharto balik
menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi PKI. Soeharto
membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan
Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5 Oktober.
Dari
segi logika sudah tidak rasional. Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26
September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika
dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang saya
terima dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama
dipenjara, pasukan bantuan Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang
akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh Untung dan Soeharto.
Pertemuan
penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965.
Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita
Latief kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan
kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden.
Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi
Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak
Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September
1965 malam hari pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto.
Saat
itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang
ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini Latief melaporkan penculikan
para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam kemudian).
Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto. Sebenarnya yang akan melapor
kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol
Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan
Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30
September 1965) pada pukul 21.00 WIB.
Soepardjo
sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto.
Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu
saja yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief
menirukan ucapan Soepardjo. Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali
menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah
berseri-seri melaporkan kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di belakang
mereka. Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief
kepada Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka.
Beberapa
jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal. Ada yang menarik dari
pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada tanggal
30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia bercerita kepada dua
pihak: Pertama kepada wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968.
Saat itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar
jenderal yang akan diculik.
Kepada
Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965 anak
lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto)
ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30
September 1965 banyak kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga berada
di RSPAD. Di antara yang datang adalah Latief yang menanyakan kondisi anak
saya. Saat itu saya sangat terharu atas keprihatinannya pada anak saya. Tetapi
ternyata Latief adalah orang penting dalam kup yang terjadi.
Jadi
jelas Latief datang ke RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi untuk
mengecek keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di
RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto
hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah. Pada Juni 1970 Soeharto
diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga mengajukan pertanyaan
yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar perwira
AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965?
Soeharto
mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD pukul 23.00 WIB
bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi itu tidak
dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya di tempat umum.
MELETUSLAH PERISTIWA ITU
Saat
G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling
daerah yang disebut Turba (Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya
berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling
Jawa Timur dan Indonesia Timur. Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama
rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Misinya adalah mematangkan
Kabinet Dwikora. Namun kemudian kami berpisah. Rombongan Sri Muljono berangkat
ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya ke Medan. Pada tanggal 2 Oktober saya
ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari
sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta.
Ada
pesan Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa
ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan
pesawat. Saya tentu saja sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan
orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung menuju Istana Bogor
menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui alasan
kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati. Sebabnya adalah saat
Sri Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet sehingga
pesawat berputar-putar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat
secara darurat di dekat Bogor.
Saat
saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya berangkat
ke Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang
mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung
Karno sudah berada dalam tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan
meninggalkan Istana Bogor. Sehari sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di
Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang kemudian dibunuh pada dini hari.
Saya
mendapat laporan dari para kolega dan para intel anak buah saya di BPI. Sampai
berhari-hari kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari para kolega dan
anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian seputar
30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat,
sebagian tidak. Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang saya
terima, termasuk berbagai gejala yang sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat
saya ungkapkan di sini. Namun paparan saya akan terasa kurang menimbulkan
kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan sejarah versi Orde Baru. Itu
sebabnya, di beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi Soeharto sebagai
pembanding.
Pada
tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada
Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta.
Beberapa waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok
perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden yang menamakan diri Dewan Jenderal
termasuk bocoran rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor
tentang Dokumen Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung
Karno. Dengan akumulasi aneka laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar
itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal
terjadi.
Menurut
pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya
di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim.
Menurutnya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian (tanpa pengawal) dengan
mengendarai jeep Toyota. Dari RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas
masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat merasakan suasana yang
tidak biasa. Di sekitar Jalan Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi
Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan pasukan yang berkumpul di
Monas. Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan
Soeharto di beberapa kesempatan terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB
dia mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja
terjadi penculikan terhadap para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke
markas Kostrad, kata Soeharto. Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1. di
saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian, tanpa
pengawal. Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia
selalu dikawal.
2. ia
melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit berkumpul dan
merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang
komandan pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan
prajurit yang berkumpul pada tengah malam seperti itu?
3.
pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui bahwa
baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita
televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa
memberitakan suatu kejadian beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru
memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB.
Yang
sebenarnya terjadi: Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat
Monas itu akan bergerak mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri
yang mendatangkan sebagian besar (kira-kira dua pertiga) pasukan tersebut
dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat: Soeharto menawarkan bantuan pasukan
yang diterima dengan senang hati oleh Untung. Pasukan dari daerah dengan
perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra
Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas.
Selain
itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa
pasukan sudah dalam keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja
tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam
kondisi sangat tegang. Malah ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya
pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal. Bagi Soeharto
tidak ada yang perlu ditakutkan. Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan
mengatakan kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok pasukan berkumpul
di dekat Monas dan ia membiarkan saja.
Jika
ia memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para
jenderal, mestinya ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan
di berbagai kesempatan terbuka. Dengan pernyataannya membiarkan pasukan
bergerombol di dekat Monas, bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar. Masak
seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok pasukan bergerombol di dekat
Monas pada tengah malam, padahal dia melihatnya sendiri.
Yang
sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah
seperti ditulis dalam buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan
Merdeka Timur dan melihat persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke
Markas Kostrad. Di Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan
bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung gerakan pengambilan para jenderal.
Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu ada cerita
Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
Dengan
pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan
mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad.
Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan
diberitahu ada penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S,
maka pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak
mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim (tetangga Soeharto)
mengetahui ada penculikan para jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada
pukul 05.30 WIB.
Padahal
penculikan dan pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya,
sekitar pukul 04.00 WIB. Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta
1 Oktober 1965 adalah mengapa para jenderal itu tidak dihadapkan kepada
Presiden Soekarno. Logikanya jika anggota Dewan Jenderal diisukan akan
melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta
penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi lain
jika para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk
konfirmasi. Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh
sebelum peristiwanya meletus.
Dari
perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya
melainkan oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah
masa kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun
Untung, Latief dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S,
tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya diburu dan
dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia
kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang dibunuh. Ia tampil sebagai
pahlawan.
Soal
Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada pengakuan
dari salah satu pelaku penculikan. Menur ut Serma Boengkoes (Komandan Peleton Kompi
C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin prajurit penjemput Mayjen MT
Haryono, di militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau
hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur
dan Komandan Batalyon Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes
setelah ia bebas dari hukuman.
Namun
MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk
rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden kok
dini hari. Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak.
Tidak jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian
setelah semua jenderal dikumpulkan di Pondok Gede (Lubang Buaya).
Sedangkan
saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan
karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia
memang dijadwalkan untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada
pukul 08.00 WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan
Kelima. Yani menolak ide Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu
sebelumnya. Malah sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya
yaitu Gatot Subroto.
Dengan
dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden
Soekarno diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan
masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara penjemputnya menimbulkan
kegaduhan di keluarga Yani yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan
kepada penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi ketika tentara penjemputnya
menyatakan Tidak perlu ganti baju, jenderal, maka seketika Yani menempeleng
tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap jenderal memang sudah
luar biasa tidak sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani
diberondong tembakan.
Untuk
penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah
banyak ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit
setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu
saya ceritakan lagi. Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal
1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda,
baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu tidak
seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta yang didalangi oleh PKI.
Versi
AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan provokasi yang
didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh
imperialisme internasional. Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi
secara licik dan efektif serta dikelola secara maksimal oleh seorang fasis
berbaju kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima
Kostrad Mayjen Soeharto.
Pada
sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik
antara pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik
konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada
imperialisme internasional di satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik
anti- imperialisme dengan aspirasi negara yang merdeka penuh dan demokrasi
berkeadilan sosial di pihak lain. Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para
pemimpin politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling demokrat dari sistim
demokrasi parlementer.
Mereka
berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam
sistim demokrasi liberal. Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya
lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai anggota dan keluarganya,
lantas membubarkan PKI.
Dari
kacamata internasional terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia
Howard Jones peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan
rakyat yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah
yang direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto. DARI DETIK
KE DETIK Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia
menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah
mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan
Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai Istana, jalanan diblokade
oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak dikenal, karena memang
tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana.
Dalam
waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke
Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas
Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim
akan dengan cepat terbang ke tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja.
Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pasukan pengaman merasa presiden
dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden
bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat.
Itu
asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak
tahu bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun
Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat
di Halim, beliau diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia
menerima laporan dari Brigjen Soepardjo. Aidit pagi itu juga berada di Halim.
Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di Halim. Kalau Oemar
Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi
keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan.
Bung
Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat
lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya
dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah. Beberapa hari
kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa
Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan.
Tetapi menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto
memang memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu
Aidit tidak dapat bicara yang sebenarnya.
Saya
lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita
bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa
orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya
diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia
ditembak mati di Brebes. Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh
sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara
Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas Besar
ABRI.
Saat
itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa jenderal baru saja
diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal, meskipun sebenarnya
para jenderal sudah dibunuh. Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak
diminta tenang. Semua pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua
pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima
Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari
pertumpahan darah.
Demikian
antara lain isi instruksi Presiden. Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa
Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para
jenderal tidak didukung oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto
dengan memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan kawan-kawan. Jelas ini
membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang
akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya
untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih
dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan
pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung
ditangkap.
Mengenai
soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di
Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun
pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya
menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang
didatangkan dari daerah, katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga
tahu bahwa Untung adalah anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati
dan benar-benar dieksekusi.
Hampir
bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden mungkin hanya selisih
beberapa menit kemudian Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang
Widjanarko yang berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini
mungkin hampir bersamaan waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan
kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar
Presiden Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad
di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim.
Saat
Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung.
Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati
Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir
dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko.
Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah
Soeharto. Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen
Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri
Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke
Madiun, Jawa Timur.
Wakil
Perdana Menteri-II Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan
langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor. Dari
berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia
harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana
Bogor menuruti nasihat Leimena dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan
Bung Karno tiba di Istana Bogor. Ternyata benar.
Gempuran
pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar. Penggempuran itu saya
nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab seperti saya sebutkan
terdahulu sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan
G30S adalah orang-orangnya Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan
tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu benar-benar bingung.
Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara seperti saat itu.
Sekitar
pukul 14.00 WIB masih pada 1 Oktober 1965 kepada Kapten Kuntjoro (ajudan
Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah
anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah
selesai. Nasution yang lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas
Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah
anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak
perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan
Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus
kepangkatan, bukan untuk kudeta.
Pernyataan
Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung
menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu
pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota
Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto
ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi. Hanya saja kudeta
3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta
merangkak yang berhasil.
Dalam
kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia tampil
sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3
Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena menggempur komplotan
penculik Perdana Menteri Sjahrir. Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965)
kondisi negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan
situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para jenderal melalui RRI
disiarkan oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang
akan melakukan kudeta sudah digagalkan.
Anggota
Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk
sementara pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota
Dewan Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno. Pengumuman demi pengumuman
terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan
pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar pukul
21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah
terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan
Untung.
Tindakan
tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga
diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A
Yani diculik. Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar
membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak
tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu rencana
penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan pengumuman Soeharto
mengambil-alih kendali AD.
Padahal
beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk
mengambil-alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto
Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker) Menpangad. Esoknya, 2 Oktober
1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok bayangannya
mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan mengenakan
pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal
presiden yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali
karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan
masuk dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam
buku-buku sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah.
Bung
Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap
pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes,
Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk
memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan
AU yang diduga terlibat dalam G30S. Karena persoalan cukup rumit Bung Karno
menunda pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto
dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama
Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot
sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk
memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan).
Inilah
awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu.
Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa
pertama. Namun ini tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut
dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang
pegang kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari
sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan instruksi
untuk ABRI.
Ini
menunjukkan bahwa Presiden masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden
sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik. Maka
kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya
kalau bukan memotong kewenangan Presiden? Namun toh akhirnya surat kuasa
dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa
itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita
kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan
mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan.
Sebelum
surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD.
Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto menyatakan
agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu Presiden
Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto. Setelah para pembantu dekat Bung Karno
sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat
bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena.
Bukankah
brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar
Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan – yang paling
hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul
pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani,
tentu akan lain ceritanya. Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya
maksud tertentu, apalagi menjerumuskan Bung Karno. Beliau adalah orang yang
loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati.
Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun) istana bogor
memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara.
Siapa
sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di
sana? Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya
Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar
jangan bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada
Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan
ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa sekarang.
Mendengar itu Leimena mundur. Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga)
ganti Waperdam-III Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama
dengan Leimena. Jawaban Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa
sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto.
Hebatnya,
beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden.
Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada
dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi
caretaker Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis
pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan
sama sekali. Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun
tidak dapat dicegah.
Inilah
awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi
memiliki power untuk memimpin negara. Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI
dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia
banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang
berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut
negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat
mengerikan. Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno
mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai
pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Tidak
disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya
dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun berikutnya
namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi
masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto
pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas
atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk
menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini
tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa.
Pada
tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi
Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto
dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan
mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan
didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad. Di beberapa buku sejarah G30S banyak
pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S.
Logikanya,
jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh
pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung
mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno
malah menghentikan gerakan itu?
Jawabnya
adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini
sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam
Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para
jenderal. Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi
dengan Presiden. Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan
keuntungan bagi Soeharto:
1.
Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupakan
salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
2.
Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan
kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya
disokong oleh Soeharto).
3.
Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.
4.
Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar
terwujud.
NASIB A.H. NASUTION
Nasution
meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga
arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin. Dialah perwira yang paling tinggi
pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang empat,
sedangkan Soeharto masih bintang tiga.
Di
saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun
1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak
politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH Nasution paling pantas
menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang
tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya
tewas) sehingga wajar menyandang gelar pahlawan.
Selain
sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah
pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman
melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan
militer, agar tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif
di pusat dan daerah. Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian
perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution.
Presiden
Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu
berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani
masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung Karno meninggal
atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling
cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya.
Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto.
Ia seperti
halnya Yani tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas
soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia
benar-benar tidak tahu bahkan tidak menduga bahwa Soeharto yang pangkatnya
lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan Jenderal.
Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma
Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.
Pertanyaannya
adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak
melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai
umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil
yang berada di bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh
Soeharto menjadi momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang
paling berani menentang gagasan Bung Karno.
Saya
mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan
Nasution, tentu ada contohnya. Salah satunya berdasarkan informasi akurat yang
saya terima adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar
pukul 09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan
pagi itu 1 Oktober 1965 Soeharto memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan
rapat di Makostrad.
Tetapi
Soeharto minta bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya
seolah-olah untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh
pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution.
Menurut
memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan
para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga
berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya
di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula
instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain
diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke Detik).
Rapat
akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang
diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik
sudah disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik)
maka yang menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya
sendiri. (Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di
RRI bahwa ia mengambil-alih kendali AD).
Maka
rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu
secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali
militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker)
Menpangad tidak perlu dipatuhi.
Setelah
rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-
buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke
Makostrad. Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena
baru saja lolos dari pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat.
Peserta rapat masih berkumpul lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir
selesai.
Keputusan-keputusan
sudah diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat
sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai. Dengan cara seperti itu
Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi biasa setengah
hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting.
Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S.
Nasution
ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena,
pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati
Pangkostrad Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas
Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi
tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan
tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya.
Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang
rapat.
Dengan
begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil
dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa
Nasution pun dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa
menimbulkan kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi
bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis. Ini sekaligus
untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis baik dari militer maupun sipil ke
pihak Soeharto.
Yang
paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu dijadikan momok oleh
Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno. Ada satu kalimat Nasution yang
ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya demikian:
Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar masyarakat tenang.
Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya
diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan
diri Nasution sendiri).
Tetapi
bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto memang
sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan
kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu
lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana
Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno
minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib.
No comments:
Post a Comment