Tuesday 25 August 2015

Catatan Kronologis G-30S PKI

Catatan Kronologis G30S/PKI  menurut
Mayjen. Pranoto Reksosamodra

Di bawah ini, adalah beberapa catatan ringkas dari saya, sekitar kejadian dan peristiwa,
baik yang saya alami maupun saya ketahui, sekitar gerakan G.30-S/PKI yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Singkatnya secara kronologis dan secara numerik dapat saya tuliskan di sini sbb:

Pertama, pada tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam 06.00, pada saat saya sedang mandi, maka datanglah Brigjen. Dr. Amino (Ka.Dep. Psychiatri RSGS Jakarta), yang dengan serta-merta memberitahukan tentang diculiknya Letjen. A. Yani beserta beberapa Jenderal lainnya oleh sepasukan bersenjata yang belum dikenal, sedangkan nasib para jendral yang diculik itu pun belum diketahuinya. Sesudah mandi, maka saya segera berangkat ke MBAD dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.

Kedua, setibanya di MBAD dan setelah menampung beberapa berita dari beberapa sumber, maka oleh karena pada saat itu saya kebetulan sebagai Pati yang berpangkat tersenior, saya segera memprakarsai untuk mengadakan rapat darurat di antara para Asisten MenPangad atau wakilnya yang hadir pada saat itu di MBAD, yaitu para pejabat teras SUAD dari Asisten MenPangad sampai Asisten VII MenPangad termasuk Irjen. PU dan pejabat Sekretariat.

Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan: secara positif bahwa Letjen. A. Yani beserta lima orang Jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik, yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata. Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk Mayjen. Soeharto Pangkostrad agar bersedia mengisi pinpinan A.D yang terdapat vacum. Melalui kurir khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada MayJen Soeharto di MAKOSTRAD.

Ketiga, pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam 09.00 WIB saya menerima laporan dari salah seorang Pamen (lupa namanya) dari MBAD yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI saya ditunjuk oleh Presiden/Panglima Tertinggi untuk menjabat sebagai Caretaker Men/Pangad. Oleh karena baru merupakan berita, maka saya tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut.

Keempat, bahwa pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 sesudah saya menerima berita tentang penunjukan saya untuk menjabat sebagai Caretaker Men/Pangad, maka berturut-turut datanglah utusan dari Presiden/Panglima Tertinggi yaitu: 1. Letkollnf. Ali Ebram, Kasi 1 Staf Resimen Cakrabirawa, yang datang k.l jam 09 .30 2. Brigjen TNI Soetardio, Jaksa Agung bersama Brigjen Soenarjo, Ka.Reserse Pusat Kejaksaan Agung yang datang bersama pada jam: 10.00 (k.l). 3. Kolonel KKO Bambang Widjanarka, Ajudan Presiden/ Pangti yang datang sekitar jam 12.00 WIB. Oleh karena, saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis di bawah Mayjen. Soeharto (vide titik 2 di atas), maka saya tidak dapat secara langsung menghadap Presiden/ Pangti dengan tanpa seizin Mayjen Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu.

Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/ Pangti tersebut di atas, saya pun berusaha mendapatkan izin dari Mayjen Soeharto. Akan tetapi, Mayjen Soeharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/ Pangti dengan alasan bahwa dia (Mayjen. Soeharto) tidak berani mereskir (menjamin, ed.) kemungkinan tambahnya korban Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menanti perintahnya untuk tinggal di MBAD.

Kelima, pada malam hari berikutnya, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar 19.00 WIB saya dipanggil oleh Jenderal Nasution, KASAB, di markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat. Kecuali Jenderal Nasution yang hadir, juga dihadiri oleh Mayjen Soeharto, Mayjen Moersyid, Mayjen Satari, dan Brigjen. Oemar Wirahadikoesoemah. Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai ini hari ditunjuk oleh Presiden/ Pangti untuk menjabat sebagai Caretaker Men/ Pangad yang selanjutnya menanya kepada saya bagaimana pendapat saya secara pribadi. Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima pengangkatannya secara resmi secara hitam di atas putih.

Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti entah nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung oleh Pangkostrad (Mayjen Soeharto) yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan Pimpinan AD. Akan tetapi, mengingat pada saat itu suara dan kesan dari media massa, yang memuat berita-berita adanya usaha untuk menentang keputusan Presiden/Pangti, tentang penunjukan saya sebagai Caretaker Men/Pangad, maka oleh Jenderal Nasution saya diminta agar pada tanggal, 2 Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang di rencanakan di Senayan. Saya bersedia

Keenam, tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu saya akan mengadakan wawancara pers, maka tiba-tiba Mayjen Soeharto dan saya mendapatkan panggilan dari Presiden/Pangti, yang pada saat itu sudah meninggalkan pangkalan udara Halim Perdana Kusumah dan menempati kembali di Istana Bogor. Oleh karena itu, maka wawancara pers terpaksa saya tunda waktunya.
Mayjen Soeharto bersama saya dan Brigjen. Soedirgo (Dan Pomad) segera berangkat menghadap Presiden/Pangti di Istana Bogor. Di istana Bogor diadakan rapat, di mana hadir pula Bpk. Dr.Leimena, Bpk. Chaerul Saleh, Martadinata, Omardani, Cipto Yudodihardjo, Moersyid, M. Yusuf dan beberapa menteri lagi. Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa Pimpinan A.D langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan Mayjen Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai Caretaker Men/ Pangad dalam urusan sehari-hari (Dayly Duty).

Ketujuh, tanggal 4 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka Mayjen. Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan membentuk susunan staf-nya yang baru. Kedudukan saya menjadi Pati diperbantukan kepada KASAD.

Kedelapan, tanggal 16 Februari 1966, atas perintah dari KASAD Mayjen Soeharto, saya ditahan di Blok P Kebayoran Baru Jakarta dan dituduh terlibat dalan G.30 S/PKI, dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No. 37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966.

Kesembilan, dengan perubahan status penahanan dari Ketua Tim Pemeriksa Pusat, tersebut dalam Surat Perintahnya No.Print. 018/TP /3/1966 saya mendapatkan perubahan penahanan rumah mulai pada tanggal 7 Maret1966.

Kesepuluh, Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP /1/1969, tanggal 4 Maret 1969 saya kembali ditahan di Inrehab NIRBAYA Jakarta yang tetap dalam tuduhan yang sama.

Kesebelas, dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM/Panglima ABRI yang tersebut dalam Surat Keputusan No. Kep./E/645/1I/1970, tanggal 20 November 1970, yang ditanda tangani oleh Jenderal M. Panggabean, saya mulai dikenakan skorsing dalam status saya sebagai anggota AD, yang berikutnya pada bulan Januari 1970 saya sudah tidak menerima gaji skorsing dan hak penerimaan lainnya lagi. Sedangkan Surat Pemberhentian ataupun Pemecatan secara resmi dan keanggotaan AD ini pun sampai sekarang belum/ tidak pernah saya terima.

Kedua belas, atas dasar Surat Keputusan dari Panglima KOPKAMTIB yang tersebut dalam surat No.SKEP /04/KOPKAM/I/1981, maka dalan pelaksanaannya oleh KA. TEPERPU tersebut dalam Surat Perintahnya No. SPRIN,-481/1I/1981 TEPERPU, saya baru dibebaskan dari tahanan pada tanggal16 Februari 1981. Jadi kalau saya perhatikan tanggal, bulan dan tahun mulai dan berakhirnya saya mengalami penahanan adalah selama waktu 15 (lima belas) tahun, tanpa kurang atau pun lebih, yaitu dari tanggal16 Februari 1966 sampai pada tanggal16 Februari 1981.

Ketiga belas, selama waktu saya ditahan, sepanjang waktu lima belas tahun itu, saya merasa belum pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara yang resmi. Saya hanya menjalani interogasi secara lisan, yang di- lakukan oleh Tim Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970. Sesudah itu saya tidak pernah diinterogasi lagi, sampai saatnya saya dibebaskan pada 16 Februari 1981.

Keempat belas, untuk waktu berikutnya, maka apa, di mana, dan bagaimana yang dapat saya perbuat/lakukan sebagai seorang yang tanpa berstatus, polos selagi telanjang tanpa hak milik materi barang sedikit pun yang bernilai, yang memungkinkan untuk melanjutkan amal- kebaktian saya pada Tanah Air dan Bangsa, yang pernah saya rintiskan dalam turut serta mulai Perang Kemerdekaan 1945 yang tanpa absen itu? Segala penjuru lapangan kerja tertutup untuk kehadiranku, justru aku dipandang sebagai orang yang beratribut bekas tahanan G .30- S /PKI, bahkan mungkin menurut persepsi mereka, saya ini sebagai "dedengkot" nya G.30-S/PKI dari segala aspek.

Saya harus berani menelan pil, yang sepahit ini, dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup dan penghidupan saya yang telah menjadi suratan dan takdir llahi kepada saya sebagai umatnya. Manusia tak kuasa mengelak dari segala apa, yang telah dikehendakkan-Nya dan digariskan-Nya, justru DIA lah sebagai SANG MAHA DALANG, yang memperagakan umatnya sebagai anak wayang di pentas pakeliran kehidupan dunia ini. Saya harus mengetahui diri, di tempat, di saat dan dalam keadaan apa dan bagaimana saya ini. Saya harus dapat menguasai dan membunuh waktu, betapapun kegiatan saya sehari hari itu saya utamakan lebih dahulu demi kepentingan rumah tangga dan keluarga yang masih tersisa di rumah.

Terus terang saja kalau saya merasa malas dan enggan untuk berkunjung dan berkomunikasi dengan bekas rekan perjuangan, teman atau pun kenalan yang dahulunya saya anggap dekat/ akrab. Justru bagi mereka, yang tidak mengetahui ujung-pangkal dalam duduk perkara, saya tiada setapak pun mau maju mendekat dan bertatap muka secara hati ke hati. Kebanyakan lalu pergi menyelinap dan menghindar, yang mungkin ada merasa takut disorot, yang akibatnya dapat merugikan diri. Namun tidak sedikit pula, bekas rekan-rekan seperjuangan dan teman/kenalan, yang masih mau berkunjung ke rumah saya, sungguh pun tempat tinggal saya sekarang ini di pinggiran kota, yang sebagian perjalanannya harus ditempuh dengan jalan kaki.

Di antaranya saya merasa terkesan dengan kunjungan Letjen(P) Soedirman anggota Dewan Pertimbangan Agung, yang pada suatu malam buta berkenan meluangkan kakinya, untuk mengunjungi saya di rumah Kramatjati yang sesempit itu. Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya tidak melihat adanya perubahan wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi sikapnya yang brotherly/fatherly, sebagaimana yang mula-mula saya mengenal beliau sebagai rekan Komandan Resimen yang tersenior. Beliau mengutamakan rasa kemanusiaannya dari pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau terkenal rajin berkunjung kepada keluarga anak buah, yang suaminya sedang mengalami penahanan, atau pun yang ditinggal bertugas operasi oleh suaminya.

Beliau pun tidak ada rasa ragu mengunjungi bekas bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap penderitaan teman atau pun anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga, lepas dari persoalan atau pun perkara, yang sedang mereka pertanggung jawabkan masing-masing.


Sikap yang layak terpuji dan dihargai oleh khalayak orang timur, kalau orang itu dapat berteladan pada panutan sikap dan sifat, sebagaimana yang dimiliki Letjen(P) Soedirman itu. Maka kunjungan yang semacam itulah yang selalu dapat membasahi, ibarat embun yang menyiram hati saya.

No comments:

Post a Comment