Catatan Kronologis G30S/PKI menurut
Mayjen.
Pranoto Reksosamodra
Di bawah ini, adalah beberapa catatan ringkas dari saya,
sekitar kejadian dan peristiwa,
baik yang saya alami maupun saya ketahui,
sekitar gerakan G.30-S/PKI yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Singkatnya
secara kronologis dan secara numerik dapat saya tuliskan di sini sbb:
Pertama, pada tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam 06.00, pada
saat saya sedang mandi, maka datanglah Brigjen. Dr. Amino (Ka.Dep. Psychiatri
RSGS Jakarta), yang dengan serta-merta memberitahukan tentang diculiknya
Letjen. A. Yani beserta beberapa Jenderal lainnya oleh sepasukan bersenjata
yang belum dikenal, sedangkan nasib para jendral yang diculik itu pun belum
diketahuinya. Sesudah mandi, maka saya segera berangkat ke MBAD dengan
mengenakan pakaian dinas lapangan.
Kedua, setibanya di MBAD dan setelah menampung beberapa
berita dari beberapa sumber, maka oleh karena pada saat itu saya kebetulan
sebagai Pati yang berpangkat tersenior, saya segera memprakarsai untuk
mengadakan rapat darurat di antara para Asisten MenPangad atau wakilnya yang
hadir pada saat itu di MBAD, yaitu para pejabat teras SUAD dari Asisten
MenPangad sampai Asisten VII MenPangad termasuk Irjen. PU dan pejabat
Sekretariat.
Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari
sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan: secara positif bahwa
Letjen. A. Yani beserta lima orang Jenderal lainnya telah diculik oleh
sepasukan penculik, yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata.
Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk Mayjen. Soeharto Pangkostrad agar bersedia
mengisi pinpinan A.D yang terdapat vacum. Melalui kurir khusus, maka keputusan
rapat kita sampaikan kepada MayJen Soeharto di MAKOSTRAD.
Ketiga, pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam
09.00 WIB saya menerima laporan dari salah seorang Pamen (lupa namanya) dari
MBAD yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI saya ditunjuk oleh
Presiden/Panglima Tertinggi untuk menjabat sebagai Caretaker Men/Pangad. Oleh
karena baru merupakan berita, maka saya tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk
menunggu perintah lebih lanjut.
Keempat, bahwa pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965
sesudah saya menerima berita tentang penunjukan saya untuk menjabat sebagai
Caretaker Men/Pangad, maka berturut-turut datanglah utusan dari
Presiden/Panglima Tertinggi yaitu: 1. Letkollnf. Ali Ebram, Kasi 1 Staf Resimen
Cakrabirawa, yang datang k.l jam 09 .30 2. Brigjen TNI Soetardio, Jaksa Agung
bersama Brigjen Soenarjo, Ka.Reserse Pusat Kejaksaan Agung yang datang bersama
pada jam: 10.00 (k.l). 3. Kolonel KKO Bambang Widjanarka, Ajudan Presiden/
Pangti yang datang sekitar jam 12.00 WIB. Oleh karena, saya sudah terlanjur
masuk dalam hubungan komando taktis di bawah Mayjen. Soeharto (vide titik 2 di
atas), maka saya tidak dapat secara langsung menghadap Presiden/ Pangti dengan
tanpa seizin Mayjen Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/ Pangti
tersebut di atas, saya pun berusaha mendapatkan izin dari Mayjen Soeharto. Akan
tetapi, Mayjen Soeharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/ Pangti
dengan alasan bahwa dia (Mayjen. Soeharto) tidak berani mereskir (menjamin,
ed.) kemungkinan tambahnya korban Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang
sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menanti perintahnya untuk
tinggal di MBAD.
Kelima, pada malam hari berikutnya, yaitu pada tanggal 1
Oktober 1965 sekitar 19.00 WIB saya dipanggil oleh Jenderal Nasution, KASAB, di
markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat. Kecuali Jenderal Nasution yang hadir,
juga dihadiri oleh Mayjen Soeharto, Mayjen Moersyid, Mayjen Satari, dan
Brigjen. Oemar Wirahadikoesoemah. Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan,
bahwa saya mulai ini hari ditunjuk oleh Presiden/ Pangti untuk menjabat sebagai
Caretaker Men/ Pangad yang selanjutnya menanya kepada saya bagaimana pendapat
saya secara pribadi. Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah
menerima pengangkatannya secara resmi secara hitam di atas putih.
Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum
dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti entah
nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita
dalam usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang
ditangani langsung oleh Pangkostrad (Mayjen Soeharto) yang juga kita percayakan
untuk sementara menggantikan Pimpinan AD. Akan tetapi, mengingat pada saat itu
suara dan kesan dari media massa, yang memuat berita-berita adanya usaha untuk
menentang keputusan Presiden/Pangti, tentang penunjukan saya sebagai Caretaker
Men/Pangad, maka oleh Jenderal Nasution saya diminta agar pada tanggal, 2
Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang di rencanakan di Senayan. Saya
bersedia
Keenam, tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu saya akan
mengadakan wawancara pers, maka tiba-tiba Mayjen Soeharto dan saya mendapatkan
panggilan dari Presiden/Pangti, yang pada saat itu sudah meninggalkan pangkalan
udara Halim Perdana Kusumah dan menempati kembali di Istana Bogor. Oleh karena
itu, maka wawancara pers terpaksa saya tunda waktunya.
Mayjen Soeharto bersama saya dan Brigjen. Soedirgo (Dan
Pomad) segera berangkat menghadap Presiden/Pangti di Istana Bogor. Di istana
Bogor diadakan rapat, di mana hadir pula Bpk. Dr.Leimena, Bpk. Chaerul Saleh,
Martadinata, Omardani, Cipto Yudodihardjo, Moersyid, M. Yusuf dan beberapa
menteri lagi. Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa Pimpinan A.D
langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan Mayjen Soeharto diperintahkan untuk
menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai
Caretaker Men/ Pangad dalam urusan sehari-hari (Dayly Duty).
Ketujuh, tanggal 4 Oktober 1965, setelah melalui
macam-macam proses kejadian, maka Mayjen. Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf
Angkatan Darat dengan membentuk susunan staf-nya yang baru. Kedudukan saya
menjadi Pati diperbantukan kepada KASAD.
Kedelapan, tanggal 16 Februari 1966, atas perintah dari
KASAD Mayjen Soeharto, saya ditahan di Blok P Kebayoran Baru Jakarta dan
dituduh terlibat dalan G.30 S/PKI, dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan
No. 37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966.
Kesembilan, dengan perubahan status penahanan dari Ketua
Tim Pemeriksa Pusat, tersebut dalam Surat Perintahnya No.Print. 018/TP /3/1966
saya mendapatkan perubahan penahanan rumah mulai pada tanggal 7 Maret1966.
Kesepuluh, Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan
No.Print. 212/TP /1/1969, tanggal 4 Maret 1969 saya kembali ditahan di Inrehab
NIRBAYA Jakarta yang tetap dalam tuduhan yang sama.
Kesebelas, dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM/Panglima
ABRI yang tersebut dalam Surat Keputusan No. Kep./E/645/1I/1970, tanggal 20
November 1970, yang ditanda tangani oleh Jenderal M. Panggabean, saya mulai
dikenakan skorsing dalam status saya sebagai anggota AD, yang berikutnya pada
bulan Januari 1970 saya sudah tidak menerima gaji skorsing dan hak penerimaan
lainnya lagi. Sedangkan Surat Pemberhentian ataupun Pemecatan secara resmi dan
keanggotaan AD ini pun sampai sekarang belum/ tidak pernah saya terima.
Kedua belas, atas dasar Surat Keputusan
dari Panglima KOPKAMTIB yang tersebut dalam surat No.SKEP /04/KOPKAM/I/1981,
maka dalan pelaksanaannya oleh KA. TEPERPU tersebut dalam Surat Perintahnya No.
SPRIN,-481/1I/1981 TEPERPU, saya baru dibebaskan dari tahanan pada tanggal16
Februari 1981. Jadi kalau saya perhatikan tanggal, bulan dan tahun mulai dan
berakhirnya saya mengalami penahanan adalah selama waktu 15 (lima belas) tahun, tanpa kurang atau pun
lebih, yaitu dari tanggal16 Februari 1966 sampai pada tanggal16 Februari 1981.
Ketiga belas, selama waktu saya ditahan,
sepanjang waktu lima belas tahun itu, saya merasa belum
pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara yang
resmi. Saya hanya menjalani interogasi secara lisan, yang di- lakukan oleh Tim
Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970. Sesudah itu saya tidak pernah
diinterogasi lagi, sampai saatnya saya dibebaskan pada 16 Februari 1981.
Keempat belas, untuk waktu berikutnya, maka
apa, di mana, dan bagaimana yang dapat saya perbuat/lakukan sebagai seorang
yang tanpa berstatus, polos selagi telanjang tanpa hak milik materi barang
sedikit pun yang bernilai, yang memungkinkan untuk melanjutkan amal- kebaktian
saya pada Tanah Air dan Bangsa, yang pernah saya rintiskan dalam turut serta
mulai Perang Kemerdekaan 1945 yang tanpa absen itu? Segala penjuru lapangan
kerja tertutup untuk kehadiranku, justru aku dipandang sebagai orang yang
beratribut bekas tahanan G .30- S /PKI, bahkan mungkin menurut persepsi mereka,
saya ini sebagai "dedengkot" nya G.30-S/PKI dari segala aspek.
Saya harus berani menelan pil, yang sepahit ini, dan
harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup dan penghidupan saya yang telah
menjadi suratan dan takdir llahi kepada saya sebagai umatnya. Manusia tak kuasa
mengelak dari segala apa, yang telah dikehendakkan-Nya dan digariskan-Nya,
justru DIA lah sebagai SANG MAHA DALANG, yang memperagakan umatnya sebagai anak
wayang di pentas pakeliran kehidupan dunia ini. Saya harus mengetahui diri, di
tempat, di saat dan dalam keadaan apa dan bagaimana saya ini. Saya harus dapat
menguasai dan membunuh waktu, betapapun kegiatan saya sehari hari itu saya
utamakan lebih dahulu demi kepentingan rumah tangga dan keluarga yang masih
tersisa di rumah.
Terus terang saja kalau saya merasa malas dan enggan
untuk berkunjung dan berkomunikasi dengan bekas rekan perjuangan, teman atau
pun kenalan yang dahulunya saya anggap dekat/ akrab. Justru bagi mereka, yang
tidak mengetahui ujung-pangkal dalam duduk perkara, saya tiada setapak pun mau
maju mendekat dan bertatap muka secara hati ke hati. Kebanyakan lalu pergi
menyelinap dan menghindar, yang mungkin ada merasa takut disorot, yang
akibatnya dapat merugikan diri. Namun tidak sedikit pula, bekas rekan-rekan
seperjuangan dan teman/kenalan, yang masih mau berkunjung ke rumah saya, sungguh
pun tempat tinggal saya sekarang ini di pinggiran kota, yang sebagian
perjalanannya harus ditempuh dengan jalan kaki.
Di antaranya saya merasa terkesan dengan kunjungan
Letjen(P) Soedirman anggota Dewan Pertimbangan Agung, yang pada suatu malam
buta berkenan meluangkan kakinya, untuk mengunjungi saya di rumah Kramatjati
yang sesempit itu. Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya
tidak melihat adanya perubahan wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi
sikapnya yang brotherly/fatherly, sebagaimana yang mula-mula saya mengenal
beliau sebagai rekan Komandan Resimen yang tersenior. Beliau mengutamakan rasa
kemanusiaannya dari pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau terkenal rajin
berkunjung kepada keluarga anak buah, yang suaminya sedang mengalami penahanan,
atau pun yang ditinggal bertugas operasi oleh suaminya.
Beliau pun tidak ada rasa ragu mengunjungi bekas
bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap penderitaan teman atau
pun anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga, lepas dari
persoalan atau pun perkara, yang sedang mereka pertanggung jawabkan masing-masing.
Sikap yang layak terpuji dan dihargai oleh khalayak orang
timur, kalau orang itu dapat berteladan pada panutan sikap dan sifat,
sebagaimana yang dimiliki Letjen(P) Soedirman itu. Maka kunjungan yang semacam
itulah yang selalu dapat membasahi, ibarat embun yang menyiram hati saya.
No comments:
Post a Comment